Jerat Hukum UU ITE: Risiko Pidana bagi Pemain dan Pembuat Konten Judi Online
Di era digital yang kian maju, perjudian tidak lagi hanya dilakukan di tempat-tempat fisik. Kini, dengan hanya menggunakan gawai dan koneksi internet, aktivitas judi dapat diakses oleh siapa saja dan dari mana saja. Menanggapi fenomena ini, pemerintah Indonesia telah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang menjerat tidak hanya penyelenggara tetapi juga pemain dan para pembuat konten yang mempromosikan judi online.
Meskipun upaya pemblokiran dan penindakan terus dilakukan, data justru menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Sepanjang tahun 2024 saja, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir 5.512.602 situs judi online, sementara Kepolisian RI menindak 4.926 kasus . Lebih mencengangkan lagi, laporan PPATK pada tahun yang sama mengungkap terdapat sekitar 9,78 juta pemain judi online di Indonesia . Data ini menunjukkan betapa masifnya ancaman perjudian online dan pentingnya pemahaman mengenai risiko hukum yang mengintai.
Mengenal UU ITE dan Kaitannya dengan Perjudian Online
UU ITE, yang pertama kali diundangkan sebagai UU Nomor 11 Tahun 2008 dan kemudian diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, hadir sebagai payung hukum bagi aktivitas di dunia siber . Keberadaannya dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan hukum yang timbul seputar pengiriman informasi, komunikasi, dan transaksi secara elektronik.
Meski UU ITE adalah pionir “cyber law” di Indonesia, dalam praktiknya masih ditemui berbagai kekurangan. Studi menunjukkan bahwa efektivitasnya dalam melindungi aktivitas siber, termasuk memberantas judi online, belum sepenuhnya tercapai .
Lantas, pasal mana saja dalam UU ITE yang dapat menjerat aktivitas judi online?
Pasal 27 Ayat (2) UU ITE: Senjata Utama
Pasal ini menjadi pasal andalan untuk menindak penyelenggara dan promotor judi online. Bunyinya adalah “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.”
Dalam bahasa yang lebih sederhana, siapapun yang dengan sengaja menyebarkan, mengirimkan, atau membuat dapat diaksesnya konten yang berisi muatan perjudian dapat dijerat dengan pasal ini. Ini tidak hanya mencakup pemilik situs judi, tetapi juga influencer, selebgram, atau youtuber yang mempromosikan situs-situs tersebut kepada pengikut mereka .
Risiko Hukum bagi Pemain Judi Online
Banyak orang beranggapan bahwa hanya penyelenggara judi yang dapat dipidana. Anggapan ini keliru. Pemain judi online juga menghadapi risiko hukum yang serius, meski regulasinya tidak hanya berpusat pada UU ITE.
1. Diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Sebelum UU ITE ada, KUHP telah mengatur secara spesifik tentang perjudian. Pasal 303 dan 303 bis KUHP secara jelas mengancam pidana bagi para pelaku judi, baik yang menjadi pemain maupun yang menyelenggarakan . Dalam KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023), ketentuan ini dipertahankan dan dirinci lebih lanjut dalam Pasal 426 dan 427 yang mengatur pemidanaan baik bagi operator maupun pemain judi .
2. Sanksi Pidana Penjara dan Denda
Berdasarkan pasal-pasal dalam KUHP tersebut, seorang pemain judi dapat dihadapkan pada ancaman pidana penjara atau kurungan dan denda. Hal ini menegaskan bahwa dalam perspektif hukum Indonesia, perjudian adalah aktivitas yang dilarang dan pelakunya, tanpa terkecuali, dapat dihukum.
Tantangan Penegakan Hukum terhadap Pemain
Meski ancamannya jelas, menindak jutaan pemain judi online bukanlah hal yang mudah. Seringkali, penegak hukum seperti Kepolisian lebih memfokuskan upaya mereka pada penyedia platform judi dan para promotor yang lebih terlihat dan memiliki dampak lebih luas dalam menyebarkan virus perjudian .
Risiko Hukum bagi Pembuat Konten dan Influencer
Inilah kelompok yang saat ini paling rentan dijerat dengan UU ITE. Maraknya influencer yang mempromosikan situs judi online menjadi perhatian serius dari aparat penegak hukum.
Pelanggaran Pasal 27 Ayat (2) UU ITE
Seperti telah dijelaskan, aktivitas promosi yang dilakukan influencer secara terang-terangan melanggar Pasal 27 Ayat (2) UU ITE. Mereka dianggap mendistribusikan informasi bermuatan judi kepada ratusan ribu bahkan jutaan pengikut mereka di media sosial.
Sanksi yang Dihadapi
Berdasarkan Pasal 45 Ayat (2) UU ITE, setiap orang yang memenuhi unsur Pasal 27 Ayat (2) dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ancaman hukuman yang tidak ringan ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi para pembuat konten.
Alasan Influencer Masih Melakukannya
Penelitian mengungkap beberapa alasan mengapa masih banyak influencer yang nekat mempromosikan judi online:
- Klaim Ketidaktahuan: Sebagian influencer mengaku tidak tahu bahwa situs yang mereka promosikan adalah situs judi. Mereka seringkali beralasan bahwa konten mereka hanya promosi “game online” biasa, bukan judi .
- Tawaran Imbalan yang Menggiurkan: Tidak dapat dipungkiri, situs-situs judi online menawarkan bayaran yang sangat besar bagi influencer terkenal untuk mempromosikan produk mereka.
- Ambiguitas Hukum: Adanya definisi yang tidak jelas yang membedakan antara “game online” dan “judi online” sering dijadikan celah pembelaan . Beberapa game online memiliki sistem “lootbox” atau “gacha” yang sangat mirip dengan mekanisme judi, sehingga membuat batasannya menjadi kabur.
Kendala dan Tantangan dalam Penegakan Hukum
Meski aturan telah ada, efektivitas penegakan hukum terhadap perjudian online di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius.
1. Inkonstitusi atau Tidak Konsistennya Regulasi
Penelitian menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam ketentuan pidana antara KUHP dan UU ITE . Perbedaan dalam hal ancaman hukuman ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan melemahkan upaya penegakan hukum.
2. Pasal Multitafsir (“Pasal Karet”)
UU ITE, khususnya Pasal 27 Ayat (2), sering dikritik karena dianggap sebagai pasal multitafsir . Ketiadaan batasan yang jelas tentang unsur “perjudian” dan “permainan online” menimbulkan kesulitan dalam penerapannya. Kondisi ini dapat berpotensi menimbulkan overkriminalisasi (penjeratan hukum yang berlebihan) atau sebaliknya, membuat pelaku sulit dihukum .
3. Keterbatasan Sumber Daya Penegak Hukum
Perang melawan judi online adalah perlombaan teknologi. Penegak hukum seringkali kewalahan menghadapi kemudahan dan kecepatan pelaku membuat situs-situs judi baru atau menggunakan platform media sosial yang sulit dilacak. Selain itu, jumlah penyidik dan peralatan teknologi yang terbatas turut menjadi kendala .
4. Faktor Sosial dan Ekonomi
Data PPATK tahun 2024 yang mengejutkan mengungkap bahwa 78% penjudi online berpenghasilan di bawah Rp 100.000 per hari . Ini menunjukkan bahwa motivasi ekonomi dan harapan untuk mendapatkan keuntungan cepat dengan mudah menjadi pemicu masifnya partisipasi dalam judi online, di tengah kesulitan penegakan hukum.
Upaya Pencegahan dan Solusi yang Diperlukan
Menghadapi kompleksnya masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dari berbagai pihak.
1. Harmonisasi Regulasi
Pemerintah perlu menyelaraskan dan memperjelas semua aturan yang terkait dengan perjudian online, baik dalam KUHP, UU ITE, maupun peraturan khusus lainnya . Hal ini akan menciptakan kepastian hukum baik bagi penegak hukum maupun masyarakat.
2. Edukasi dan Kampanye Sosial
Selain pendekatan represif (penindakan), upaya preventif (pencegahan) melalui edukasi sangat penting. Kampanye anti judi online, seperti inisiatif Kominfo yang melibatkan publik figur seperti Wulan Guritno, adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat .
3. Sinergi Antar Lembaga
Penegakan hukum akan lebih efektif jika ada kerjasama yang kuat antara Kepolisian, Kominfo, PPATK, dan lembaga terkait lainnya . Sinergi ini memungkinkan pemblokiran akses, pelacakan aliran dana, dan penindakan hukum berjalan beriringan.
4. Kejelasan Definisi Hukum
Pemerintah dituntut untuk memberikan panduan yang jelas dan tegas dalam membedakan antara permainan online biasa dengan yang sudah tergolong judi online . Kejelasan ini akan melindungi konten kreator yang tidak berniat melanggar hukum dan memudahkan aparat dalam mengambil tindakan.
Kesimpulan
Jerat hukum UU ITE, khususnya Pasal 27 Ayat (2), merupakan ancaman nyata baik bagi pemain maupun, terlebih lagi, bagi pembuat konten dan influencer yang mempromosikan judi online. Ancaman hukuman penjara bertahun-tahun dan denda miliaran rupiah bukanlah main-main.
Namun, di balik ancaman itu, terdapat tantangan besar dalam penegakkannya. Ketidakjelasan regulasi, multitafsirnya pasal, dan keterbatasan sumber daya membuat perang melawan judi online masih panjang. Oleh karena itu, selain meningkatkan kewaspadaan diri dan menghindari segala bentuk konten yang berhubungan dengan judi online, masyarakat juga dapat mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem hukumnya. Pada akhirnya, melindungi diri dan keluarga dari jerat judi online tidak hanya tentang takut pada hukuman, tetapi lebih tentang menyadari betapa aktivitas ini dapat menghancurkan masa depan, keuangan, dan hubungan sosial kita.






